Korupsi sesungguhnya merupakan nama keren
dari mencuri, dan mencuri menurut istilah bahasa arab “saraqah” (menyembunyikan
sesuatu yang bukan miliknya) dan di dalam KUHP disebutkan bahwa mencuri adalah
memindahkan sesuatu dari tempat semula ke tempat lain yang bukan miliknya.
Perilaku korupsi bisa juga diindikasikan dari berbagai perspektif atau
pendekatan. Tindakan korupsi menurut perspektif keadilan atau pendekatan hukum
misalnya mengatakan bahwa korupsi adalah mengambil bagian yang bukan menjadi
haknya.
Korupsi adalah mengambil secara tidak jujur
perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang
dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi
adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi yang secara sengaja
dilakukan sendiri atau bersama-sama untuk memperoleh keuntungan berupa status,
kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri.
Pendekatan atau perspektif orang awam
dengan lugas mengatakan menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan wewenangnya
untuk menerima suap, menikmati gaji buta tanpa bekerja secara serius adalah
tindakan korupsi. Bisa saja hal itu dikatakan untuk menjelaskan hal yang kita benci dan akan
kita jinakkan. Sanksi bagi pencuri dalam agama sudah jelas. Namun perlu
disadari bahwa untuk menghilangkan korupsi bukanlah perkara gampang karena ia
telah berurat berakar dan menjalar kemana-mana terutama di negeri kita ini. Bangsa dari sebuah
negara dengan tingkat keberagamaan (religiusitas) nya ternyata tidak bisa
dijadikan sebagai ukuran. Karena ternyata, negara yang dikenal sangat religius
seperti Indonesia, dalam beberapa survei justru meraih rekor yang sangat tinggi
dalam urusan korupsi. Sebaliknya, sejumlah negara sekuler yang abai pada agama,
justru berhasil menekan tingkat korupsi hingga pada tingkatan yang paling
minim. Padahal, jika merujuk doktrin-doktrin normatif agama yang amat ideal
(dalam hal ini Islam), Indonesia –sebagai negara dengan populasi muslim paling
besar di dunia– tidak sepantasnya menduduki peringkat negara terkorup.
Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi?
Jawabannya, karena tidak adanya hubungan
antara agama dengan tingkat korupsi, masalah korupsi mungkin lebih bersifat
karikatural. Boleh dikatakan, bahwa terdapat dua kelompok orang yang bersih
dari korupsi. Pertama, orang yang betul-betul takut dengan hukum Tuhan. Tapi
kelompok pertama ini sedikit sekali jumlahnya. Kedua, khususnya di negeri yang
sekuler, motif tidak korupsi bukan karena takut kepada Tuhan, tapi lebih
bersifat rasionalis saja. Misalnya, kalau mereka menyuap polisi, mereka sadar itu akan menghancurkan
tatanan hukum. Kalau mengambil hak orang lain, mereka sadar akan menyengsarakan banyak
orang. Teten Masduki berkesimpulan bahwa korupsi bisa dikategorikan sebagai
perbuatan syirik, tapi sifatnya sosial.
Kesadaran sosial, semacam penghargaan
terhadap hak orang lain, sedikitnya akan mampu mengerem untuk melakukan
perbuatan korupsi. Jika mereka sadar betul kalau korupsi akan menilap hak
orang. Mereka sadar kalau korupsi akan merusak sistem ekonomi, dengan merusak
sistem perekonomian maka negara akan hancur. Islam sebenarnya telah menanamkan kesadaran seperti itu. Pada hakikatnya Islam dilahirkan untuk
membebaskan manusia dari pelbagai bentuk perbudakan dan eksploitasi.
Jadi sebenarnya, Islam datang untuk
memerangi sistem ketidakadilan. Tindak korupsi tentu termasuk hal yang harus
diperangi Islam karena dapat menimbulkan masalah besar. Korupsi dapat
menghancurkan apa saja, walau ada pihak yang menyebut soal ini tidak berkaitan dengan
soal agama. Itu karena mereka sudah merasa sangat mengerti bagaimana cara
bertaubatnya.Yang jelas, mungkin praktik agama kita yang pemaknaannya keliru,
karena lebih menekankan hal-hal yang bersifat ritual. Makanya, kadang sedikit
aneh jika melihat orang-orang yang getol shalat sampai hitam jidatnya, tapi
dalam kehidupan sosial justru menolelir tindak-tindak korupsi.
Untuk konteks Indonesia, ketika sistem
hukum dan sistem sosial tidak mendukung, maka keteladanan tokoh masyarakat akan
berperan sangat penting dalam memberantas korupsi. Jadi harus dimulai dari diri
sendiri. Untuk pola hubungan masyarakat yang masih sangat dipengaruhi community
leader (pemimpin kelompok) faktor keteladanan memang harus lebih ditonjolkan.
Sayangnya, sentimen sosial kaum muslim terhadap isu-isu seperti korupsi, dan
problem-problem sosial lainnya yang bersinggungan langsung dengan kita,
nampaknya kurang bersemangat untuk mendapatkan perhatian dibandingkan dengan
sentimen persaudaraan sesama muslim seperti dengan Palestina ataupun Irak yang
sangat luar biasa. Semua energi bisa dilibatkan dan sedia dikerahkan. Padahal
menurut sejarah, perhatian pertama Nabi Muhammad dalam dakwahnya terletak pada
usaha perbaikan sistem sosial.
Untuk itu, cita-cita untuk menjadi
Indonesia baru, membutuhkan ekstra kerja keras dalam menangani permasalahan
yang sangat krusial ini, yang segera harus dicarikan jalan keluarnya untuk
menangkal agar tidak lagi bangsa ini dihantui dengan berbagai kasus korupsi.
Karena kalau kita perhatikan bahwa permasalahan korupsi tidak saja menjadi
kendala struktural, namun lebih dari itu. Karena masalah struktural tadi,
korupsi telah membudaya (nation culture), menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari realitas birokrasi kita. Gerakan pemberantasan memang telah banyak dilakukan.
Bahkan beragam metode dan model gerakan telah digalakkan. Mulai dari gerakan
moral-kultural, politis-struktural, maupun pembaharuan substansi
perundang-undangan. Tapi korupsi tak urung usai, ia senantiasa menyelinap dalam
setiap sendi kehidupan kita: ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan agama.
Bangsa ini perlu banyak belajar dan
merenung untuk menghargai bahwa korupsi merugikan orang banyak yang telah
bekerja keras dan berlaku jujur, tindakan korupsi tidak menghargai fitrah
manusia yang diilhamkan kepadanya untuk cinta kepada kebaikan, dengan begitu
kita semua sedang belajar untuk hidup lebih lurus.
Tentu saja, sebagai bentuk kepedulian
moral, agama harus tetap diikutkan untuk masalah yang satu ini. Karena, kita
masih berkeyakinan bahwa saat ini, kualitas moral politisi sesungguhnya punya
pengaruh yang sangat signifikan dalam membuka pintu-pintu terjadinya praktik
korupsi. Pada level inilah, agama perlu menjadi moral guardian (benteng moral)
untuk mengawal aktivitas politik penganutnya agar tidak terjebak pada
pengingkaran amanah.
Makanya diperlukan pemaknaan kembali atas
agama. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara soal kemiskinan. Dan
korupsi itu jelas dampaknya menimbulkan kemiskinan.
Pada sisi yang berbeda, realitas kaum
pinggiran yang kini semakin memprihatinkan dalam kehidupan bangsa kita, juga
merupakan tanggung jawab agama. Walaupun Islam meneguhkan adanya konsep ummatan wahidatan dalam Islam,
namun secara empiris kaum muslimin terbagi dalam dua kelompok, yakni umat yang
kaya dan umat yang miskin. Jika semakin hari semakin lebar jarak itu, maka di
sinilah, agama telah kehilangan vitalitasnya sebagai agen kemanusiaan (humanity
agency).
Beberapa ayat dalam al-Quran yang memberi
argumen cukup tegas bahwa dalam setiap harta yang dimiliki manusia, senantiasa
ada hak yang tersurat. Dan hak itu, jelas bukan miliknya (Qs. Al-Maarij [70]:
24-25). Dengan ungkapan yang berbeda, Allah ingin memberi ketegasan, bahwa
sesungguhnya seorang manusia harus menafkahkan atas harta yang dikuasai (Qs.
Al-Hadid [57]: 7). Lalu, jika korupsi dilakukan, bukankah itu merupakan
pengingkaran besar atas amanah kebendaan yang dititipkan pada manusia. Hanya
saja, ini sekadar menjadi kesadaran kultural, tidak punya daya paksa
struktural, sehingga sang koruptor menjadi tak bergeming.
Sesungguhnya memang sudah saatnya al-Quran
tidak lagi diletakkan sebagai kesadaran normatif yang hanya bergerak pada
wilayah kultural. Ia juga harus mampu menyelinap dalam perbaikan pada
ruang-ruang struktural. Dan itu artinya, al-Quran juga sesungguhnya bisa
menjadi landasan teoritik yang bisa dipakai untuk melakukan pembebasan
kemanusiaan, bahkan untuk masalah seperti korupsi.
Al-Quran mempunyai kekuatan untuk membentuk
budaya masyarakat. Al-Quran memiliki impetus emosional yang dapat menggerakkan
umat Islam untuk bersikap sesuai dengan ajaran yang dikandungnya. Hanya saja,
yang patut disayangkan, doktrin-doktrin normatif yang tertuang dalam al-Quran
itu, bagi kebanyakan umatnya tidak mempunyai dimensi sosial dan intelektual
yang kuat dalam membendung realitas kemungkaran yang terjadi. Asumsi ini jelas perlu diperbaharui. Islam bukanlah teologi eskapistik yang
mengamini umatnya untuk larut dalam buaian spiritual, sehingga lupa akan
tanggung jawab sosialnya. Jika ditelaah lebih jauh, al-Quran mempunyai
perangkat teoritis yang bisa dipakai untuk membentuk ragam manifes
ketidakadilan sosial.
Terkait korupsi, bagi saya al-Quran tidak
saja mampu membentuk kesadaran moral manusia untuk tidak rakus memakan harta
rakyat. Al-Quran juga punya perangkat teoritis untuk memberantas korupsi. Dalam
banyak ayat, seringkali terdapat penegasan akan tesis Lord Acton bahwa
kekuasaan itu cenderung korup (power tends to corrupt). Dan al-Quran, tidak
saja menghadirkan penegasan itu, ia juga sekaligus melarang umat Islam untuk
memilih kaum penindas jadi penguasa (Qs.An-Naml 27:
34, Al-Kahfi
18: 71, Saba 34: 34-35, Az-Zuhruf 43:
23, Al-Isra
17: 16, Hud 11: 27). Namun jika mereka terlanjur
berkuasa, maka perlu dilakukan oposisi melawan hegemoni kaum penindas itu (Qs.
Al-Hujurat
49: 9).
Demikian itulah, kenapa di dalam Al-Quran
juga sempat disinggung bahwa kaum tertindas perlu menjadi pemimpin di bumi ini
(Al-Shaff
61: 5). Jika dipahami secara kontekstual, dapat dimengerti
bahwa sifat-sifat seorang pemimpin seharusnya bukan sosok yang korup, namun
profil populis yang dekat dengan rakyat, dan mencintai mereka. Gerakan oposisi
terhadap penguasa yang korup bahkan diyakini sebagai jihad fi sabilillah
(Al-Nisa: 75) yang juga merupakan agenda para rasul. Di sinilah praktik
pembelaan terhadap kaum lemah perlu dilakukan. Dengan demikian, boleh dibilang
bahwa ruang ketaqwaan tidak saja dilihat melalui ibadah
ritual serta kepuasan spiritual yang telah diraih, namun lebih dari itu, yang
terpenting adalah bagaimana seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain.Maka membela kaum lemah juga merupakan bagian dari karakter insan takwa
(Qs.Al-Baqarah: 197, Ali Imran: 134, Al-Insan: 8-9,
Al-Maarij: 24, Al-Dzariyat: 19). Bahkan sangat mungkin, iman pada level inilah yang justru lebih penting.
Korupsi sebagai bagian dari monopoli dan
konsentrasi kekuasaan juga disinggung oleh al-Quran, seraya mengutuknya (Qs.
Al-Hasyr: 7). Pada sisi inilah, secara radikal kemudian al-Quran “begitu
berani” mengklaim orang yang (mushally) sebagai pendusta agama jika ia tidak
memiliki keberpihakan pada anak yatim (Qs. Al-Maun: 1-7). Dan tudingan celaka, bagi
umat Islam yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya tanpa ada kesadaran
nurani (inner conscious) untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare)
(Qs. Al-Humazah: 1-9).
Dari sinilah, keberimanan masyarakat oleh
al-Quran perlu dipandu untuk menghidupkan kembali rasa kemanusiaan kita,
melalui pembaharuan struktural, dan tidak hanya dorongan moral. Al-Qur’an harus
menjadi inspirasi dan pelopor untuk melakukan gerakan pembebasan, termasuk
dalam memberantas korupsi. Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar