Hari Pendidikan Nasional jatuh pada hari ini tanggal 2 Mei, diambil dari hari lahirnya Ki Hajar Dewantara. Ditetapkan saat beliau menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau lah yang mendirikan Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922. Apakah memang tepat tanggal 2 Mei dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional? Sebenarnya, ada sekolah yang lebih tua usia berdirinya dibandingkan Taman Siswa bentukan Ki Hajar, yakni sekolah Muhammadiyah yang diperkenalkan oleh KH. Ahmad Dahlan pada 18 November 1912. Ini tentu lebih dapat diterima dikarenakan sekarang mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam.
Tak heran, menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara dalam buku Api Sejarah, penetapan Hari Pendidikan Nasional dilakukan ketika Menteri dan Kebudayaan dijabat oleh Ki Hadjar Dewantara yang menetapkan hari lahirnya sendiri sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Sekolah Muhammadiyah bercorak Islan dan nasionalis, sedangkan Taman Siswa bercorak kebatinan dan Theosofi Barat. Tokoh Theosofi adalah tokoh yang mengusahakan bersatunya pribumi dengan Belanda dalam Uni-Indonesia Belanda, bukan kemerdekaan Indonesia.
Buya Hamka menulis dalam bukunya Perkembangan Kebatinan di Indonesia bahwa Taman Siswa mengamalkan apa yang mereka sebut sebagai Panca Dharma alias Lima Pengabdian, yaitu: Kemerdekaan, Kodrat Alam, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan. Taman Siswa tidak menyebutkan Ketuhanan, sehingga tidak sesuai dengan Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga tidak sesuai dengan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yaitu 'Negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa'. Kita lanjutkan. Seorang Residen Belanda, Janquire, juga dengan tegas menyatakan bahwa cita-cita Taman Siswa yakni 'Anti Tuhan' dan 'Anti Agama'. (Atawijaya: 'Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara'). Sampai di sini, masih menerima 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional?
Sekolah-sekolah Muhammadiyah secara garis besar dibagi menjadi dua:
- Sekolah Agama, diantaranya: Muallimin, Muallimat, Diniyah Ibtidaiyah, Diniyah Wustho, dan sekolah Tabligh Kulliyatul Muballighin.
- Sekolah Umum, diantaranya: Volks School Muhammadiyah (Sekolah Rakyat/Sekolah Dasar), Vevrolg School (Sekolah Lanjutan Rakyat), Normal School, Cursus Voor Volks Onderwiojzer (CVO), kursus untuk calon guru Vervolg School, HIS, Schakel School, MULO, AMS, HIK.
Sementara Taman Siswa hanya memiliki satu macam sekolah.
Sekolah Muhammadiyah juga berkembang. Cabangnya ke seluruh Indonesia dan masih eksis sampai sekarang. Bahkan beberapa Universitas serta Sekolah Tinggi dengan menterengnya menggunakan kata Muahmmadiyah. Sedangkan Taman Siswa hanya di situ-situ saja dan tidak terlalu eksis hingga sekarang.
MC. Ricklefs seorang gru besar dari Monash University Australia menulis bahwa kelahiran Taman siswa adalah bertujuan untuk membendung dan meredam pendidikan Muhammadiyah yang cenderung radikal dan non kooperatif. Artinya pendidikan Muhammadiyah dengan asas Islam lebih jelas menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan tanpa kompromi dengan penjajah Belanda.
Sementara Ki Hajar Dewantara dikenal lebih dekat dengan orang Belanda melalui gerakan freemasonary-nya. Ada beberapa buku yang menjelaskan soal ini seperti buku Tarekat Mason Bebas dan buku Gerakan Theosofi karya Iskandar P. Nugraha.
Sekolah yang dirintis dan dikembangkan Kiai Dahlan secara informal. Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kiai Dahlan, menurut Adaby Dardan dalam buku Peran Serta Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, secra praktis organisatoris untuk mewadahi dan memayungi Madrasah Ibtidaiyah dan Diniyah Islamiyah, yang didirikan pada 1 Desember 1911.
Kegiatan mengajar mengambil tempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kiai Dahlan dengan menggunakan meja dan papan tulis. Menagajarkan agama dengan cara baru, disamping memberikan pengetahuan ilmu-ilmu umum.
Jadi sekarang, masih layakkah 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional?
*disadur dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar