Mungkin banyak yang belum mengetahui jika sebelum era Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD), Bahasa Indonesia memiliki beberapa ejaan lain yang sayang
jika terlewatkan begitu saja. Bahasa Indonesia yang memiliki akar dar bahasa
Melayu dan bahasa yang sama sekali belum berkembang, pada kongres Sumpah Pemuda
tahun 1928, telah ditetapkan sebagai bahsa persatuan. Padahal, pada saat itu
bahasa Belanda lah yang dipakai dan digunakan sebagai bahasa pengantar di dunia
pendidikan.
Pada tahun 1901, Indonesia yang pada saat itu masih bernama
Hindia-Belanda, mengadopsi ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut dibuat oleh Van
Ophuijsen, dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib
Soetan Ibrahim. Van Ophuijsen adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda yang
pernah menjadi inspektur sekolah di maktab perguruan Bukittinggi, Sumatra
Barat.
Ia kemudian menjadi profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden,
Belanda. Ejaan yang digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu menggunakan
huruf Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda. Contohnya: huruf J
untuk menuliskan kata-kata jang, sajang, jakin. Lalu ada huruf OE untuk
menuliskan kata-kata goeroe, itoe, hoeroef. Ada pula tanda diakritik, seperti
koma ain dan tanda trema untuk menuliskan kata-kata Qur’an, Joem’at, ‘akal,
ta’, dan pa’.
Pada 17 Maret 1947, ejaan Van Ophuijsen diganti oleh ejaan Republik
atau dikenal dengan ejaan Soewandi. Ejaan ini mengubah huruf OE yang terdapat
pada ejaan sebelumnya menjadi U, pada kata-kata seperti umur, guru, huruf. Bunyi
hamzah dan bunyi serentak, ditulis dengan huruf K, pada kata-kata seperti pak,
tak, rakjat, dan lainnya. Untuk kata ulang boleh ditulis dengan angka 2,
seperti kata angka2, berjalan2. Awalan di dan kata depan di, keduanya ditulis
serangkai dengan kata yang mendampinginya.
Pada 16 Agustus 1972, Presiden Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan
Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru ini berdasarkan Putusan Presiden No.57
Tahun 1972. Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa
Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972,
No.156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), meyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan
kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
dengan surat putusannya No.0196/1975 memberlakuakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah.
Pada tahun 1987 (tahun lahir si Sayah, xixixixi) kedua pedoman
tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan Surat Putusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No.0534a/U/1987, tanggal 9 September 1987. Sampai
saat ini, Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan ini mengalami beberapa kali revisi sejak ditetapkan oleh
putusan Presiden.
*diambil
dari Pikiran Rakyat edisi 4 November 2010 (pamanggih koran na ge, xixixixixi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar